Rabu, 16 April 2008

Tak Putus Dirundung Malang

TAKSUDAH DIRUNDUNG MALANG
(Pengalaman di dalam Mendorong Proses Pengakuan Hak Kelola Rakyat di Batu Kerbau)



Potret Batu Kerbau

Sampai hari ini sumberdaya hutan hanya dipandang sebagai aset yang dieksploitasi untuk membiayai pembangunan, sehingga munculah berbagai persoalan terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan. Pengelolaan yang seragam, sentralistik, nirpartisipasi rakyat, padat modal dan monopolistik seperti ini selain boros sumberdaya, penuh dengan konflik serta tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Dampaknya adalah hilangnya akses masyarakat adat dan lokal yang telah berabad lamanya tergantung dari hutan, bahkan lebih parah lagi mereka harus tersingkir dari hutan, bagian terpenting dari kehidupannya.

Batu Kerbau merupakan salah satu desa yang difasilitasi untuk program ini, terletak di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo Jambi. Desa berluas wilayah 45.000 hektar ini berbatasan wilayah dengan desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Utara, Taman Nasional Kerinci Seblat di sebelah Barat, HPH PT.Rimba Karya Indah dan Kecamatan Tabir Ulu di sebelah selatan serta dengan Baru Pelepat di sebelah Timur. Terdiri dari empat dusun yaitu Batu kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang dan Simpang Raya, Hutan secara tradisonal telah mempunyai peran yang sangat penting karena merupakan sumber air, menyediakan lahan yang diperlukan untuk pemukiman, budidaya pertanian, hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Sebagai tipologi desa tua, adat istiadat masih dipegang kukuh dan mempunyai peran dalam menyelesaikan semua permasalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Peran lembaga adat tidak saja terlihat dalam mengatur hubungan sosial juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan rombongan Datuk Sinaro Nan Putiah dalam rangka menelusuri perjalanan Cindurmato mulai dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/Sungai Napat di sekitar Gunung Rantau Bayur dan menetap dihulu sungai Samak (Batang Pelepat). Disini kemudian rombongan tersebut menetap dan mendirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya pertanian seperti berternak dan berkebun.

Struktur pemerintahan berpegang kepada pepatah adat yang berbunyi "Alam barajo, negeri berpenghulu", dimana sebagai wakil pemerintahan Pagaruyung diangkat penghulu alam "Dt Sinaro Nan Putiah" yang dibantu oleh "Tiang Panjang" dan "Nenek Rabun" bergelar "Dt Bendaharo " tinggal di Batu Kerbau dan "Dt Rangkayo Mulie" di Baru Pelepat dengan wilayah meliputi Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang, Pedukuh dan Baru Pelepat. Masyarakat hidup turun temurun dipinggir hutan, dengan batas wilayah adat berdasarkan kekuasaan Dt Sinaro Nan Putiah, dibunyikan sebagai "Kelumbuk nan berbanir, bemban nan berduri, lubuk tidak berikan salimang, dan rimbo tidak berkuao, di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci, Batu Bertanduk dengan Senamat/Rantau Pandan dan Bukit Kemulau/golek air guling batu dengan Batang Kibul Tabir/Sarko".


Tekanan yang tak Kunjung Habis

Masuknya konsesi HPH pada tahun 70-an, diawali PT Alas Kusuma, lalu PT Rimba Karya Indah masyarakat mulai tersisih, karena tidak lagi bisa mengambil hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan dan kebutuhan kayu ramuan. Operasi HPH di hulu-hulu sungai mengakibatkan pada musim kemarau sangat kesulitan memperoleh air minum, karena sungai merupakan penyedia air utama. Sedangkan pada musim hujan air menjadi keruh, longsor dan banjir. Dampaknya setiap musim wabah penyakit menular (muntaber) kerap melanda. Selian itu peracunan ikan dihulu oleh para pekerja membuat ikan sepanjang aliran Batang Pelepat mati, dampaknya masyarakat kesulitan untuk memperoleh ikan sebagai salah satu protein hewani yang penting.

Beberapa kali bujuk rayu para investor, baik sawit, karet maupun HTI sudah datang silih berganti membujuk masyarakat agar mengizinkan mereka membuka perkebunan, sampai hari ini masyarakat masih tetap menolak. Pasca reformasi, tekanan tidaklah surut bahkan makin menjadi-jadi. Illegal logging yang dilakukan oleh orang luar desa dengan backing aparat keamanan, anggota dewan, staf kecamatan dan lainnya terus merongrong kawasan htan di Batu Kerbau. Beberapa upaya untuk menangkal telah dilakukan, salah satunya dengan menangkap pelaku dan menyita kayu illegal yang diambil dari hutan lindung desa. Dampaknya nyaris terjadi perang terbuka antara masyarakat dengan para pelaku illegal logging. Pihak terkait tidak merspon hal ini. Saat ini tengah berebut untuk masuk PT. Aman Pratama dan salah stau KUD yang “dimodali”oleh Malaysia untuk membuka perkebunan sawit, namun masyarakat tetap kukuh menolak.

Pengakuan kawasan kelola rakyat oleh Pemerintah Daerah belum menjadi jaminan karena kebijakan turunan oleh Dinas Instansi Teknis masih belum menjadikan Surat keputusan Pengakuan sebagai rujukan, akibatnya berbagai kebijakan-kebijakan baru yang berdampak negatif terus bermunculan seperti izin IPH/IPK, transmigrasi, perkebunan sawit dan lainnya.


Kesadaran yang tak Kunjung Sirna

Kesadaaran untuk memperjuangkan agar hutan dan lubuk, sebagai bagian terpenting untuk hidup dan kehidupan telah dimulai sejak tahun 1988, diinisiasi Datuk Rasyid yang menjabat Kepala Desa saat itu untuk mempertahankan hutan yang ada disekitar desa agar jangan diambil oleh pemegang HPH. Selain itu kesulitan masyarakat untuk mendapat ikan semakin terasa. Beberapa tokoh masyarakat dan tetua kampung berkumpul membahasnya. Disepakati untuk membuat lubuk larangan, yang pertama disepakati adalah lubuk larangan Batu Kerbau dan lubuk Mata Kucing. Lubuk larangan menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kepala Daerah TK.II Bungo Tebo didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Pembuatan lubuk larangan ini diikuti oleh dusun-dusun lain di desa Batu Kerbau. Pembuatan lubuk larangan ini dikuti dengan kesepakatan seluruh masyarakat dalam sebuah pertemuan desa yang biasanya berbentuk pengumuman sehabis sholat jum’at. Sangsi bagi yang melanggar, diputuskan oleh tokoh masyarakat dan tetua adat. Sangsi berupa 1 ekor kambing, 20 gantang (50 kg) beras, kelapa 20 butir dan 4 kayu kain serta sangsi agama yaitu sumpah dengan membacakan surat Yasin dan Al-Quran 30 juz. Kesepakatan ini ternyata berhasil, terbukti dengan tidak adanya lagi orang meracun ikan di Sungai Pelepat.

Hasil hutan non kayu seperti tanaman obat-obatan, jernang, manau, rotan, madu, buah-buahan, petai, jengkol, kabau, ikan dan potensi hutan lainnya sebagai salah satu tambahan penghasilan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat, makin sirna karena terus menerus dibalak oleh pemilik konsesi HPH. Pada tahun 1993 kesepakatan dilanjutkan dengan penunjukkan Hutan Adat, Hutan Lindung Desa dan Kawasan Pelestarian salak alam. Latar belakang pembentukannya karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi.Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing.

Kesepakatan ini dimotori oleh para tetua adat, pegawai syara’ dan pemerintahan desa, sebagai usaha untuk mengelola hutan yang lestari sehingga dapat dipergunakan pada masa yang akan datang. Batas-batas hutan belum defenitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Potensi kayu yang ada di dalam hutan adat disepakati dapat dipergunakan untuk keperluan desa, seperti pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan jembatan serta sarana dan prasarana lainnya. Sedangkan lahan yang ada di dalam hutan adat nantinya jika penduduk di desa Batu Kerbau semakin banyak maka lahan tersebut akan dibagikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai lahan.

Potensi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Adat Desa serta Lubuk larangan yang sangat kaya bermacam tanaman obat, tanaman buah, salak alam lokal, serta berbagai jenis ikan dan satwa menambah makin terbukanya peluang dan semangat masyarakat untuk mempertahankan kawasana tersebut.Kegiatan pendampingan yang dilakukan seperti identifikasi lapangan dan pengumpulan data dasar, selanjutnya dalam upaya legal drafting telah dihimpum kesepakatan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk piagam kesepakatan pengelolaan sumber daya alam yang telah ditandatangani pada tanggal 24 April 2001. Penandatanganan piagam kesepakatan ini dilakukan oleh perwakilan masyarakat desa. Untuk selanjutnya diupayakan sosialisasi piagam kesepakatan tersebut dan dilakukan advokasi kebijakan untuk dikeluarkannya SK Bupati yang mengukuhkan hutan adat dan piagam kesepakatan masyarakat Desa Batu kerbau tersebut.


Akhir dan Awal Perjuangan

Saat ini Bupati Kabupaten Bungo telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor.1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, dimana lima lokasi seperti Hutan lindung Batu Kerbau 776 Ha, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 Ha, Hutan Adat Batu Kerbau 386 Ha, Hutan adat Belukar Panjang 472 dan hutan adat Lubuk Tebat 360 Ha. Kawasan ini dikelola dengan kaidah hukum adat, yang telah dituangkan kedalam piagam kesepakatan. Untuk mencapai pengakuan memang bukan sesuatu yang mudah, butuh waktu sekitar 4 tahun, dengan menggandeng komitmen para pihak seperti Ketua Bappeda Bungo Tebo, Kepala Dinas Kehutanan, BPN, Kabag Hukum, Sekda dan Bupati. Dua Bupati, 3 Ketua Bappeda, 3 Kepala Dinas Kehutanan telah berganti untuk sebuah langkah awal pengakuan hak kelola rakyat. Pengukuhan kawasan kelola rakyat merupakan capaian maksimal sementara, karena persoalan lain telah menunggu seperti masih munculnya “makelar” perkebunan besar swasta yang mengintimidasi masyarakat.

Membangun kekuatan ditingkat rakyat menjadi prasyarat utama didalam perjuangan panjang untuk mendorong proses pengakuan, sehingga intimidasi dan bujuk rayu menjadi pisau tumpul yang tidak akan mampu mencacah komitmen bersama. Ditingkat fasilitasi lapangan memanfaatkan momen-momen kunjungan pengambil kebijakan seperti Gubernur Jambi, Direktur HKM Dephut, Bupati dan para aktifis bisa menjadi faktor penguat komitmen. Peran fasilitator yang mendorong pendidikan kritis (temu kampung, dialog Kabupaten), pemetaan partisipatif dan telaah hukum kebijakan. SK Bupati bukan akhir perjuangan, namun awal yang lebih berat dan panjang untuk meyakinkan semua pihak, kalau masyarakat akan mampu mengelola sumberdayanya secara adil, dmokratis dan lestari asal diberi peluang, perlindungan, pengakuan dan penghargaan.

Tidak ada komentar: