Rabu, 16 April 2008

PILKADA

ANTARA PILKADAL DAN PIL PAHIT

Saat ini, publik tiap hari didera informasi dari berbagai media cetak serta elektronik mengenai siapa yang akan berkuasa ditiap daerah, baik sebagai Bupati, Wali Kota ataupun Gubernur. Pemimpin baru dengan aroma baru, dipilih langsung. Namun dengan rasa lama, sarat dengan berbagai kepentingan. Cobalah perhatikan dengan seksama dinamika politik akhir-akhir ini, akan tergambar dengan jelas bagaimana prilaku para elit, bekas elit atau yang tengah merayap menuju elit baik dari kalangan politisi, militer, pengusaha ataupun birokrasi. Sepertinya mereka menutup erat-erat daun telingannya, membutakan matanya, mempertebal kulit mukanya serta memutus tali urat malunya terhadap realitas sosial yang ada. Mereka lebih asyik bermain dengan mimpi kekuasaanya.

Diberbagai daerah, PILKADAL (Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung) telah menuai berbagai persoalan. Dari mulai konflik etnis, pendudukan dan perusakan kantor KPU, pemalsuan ijazah, politik perkoncoan serta penyogokan, janji untuk mengobral sumberdaya alam kepada para cukong yang mendukung dan lainnya. Berbagai upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Demontrasi akan dibalas dengan demontrasi, kekerasan akan diimbangi dengan kekerasan yang lebih dahsyat, janji muluk akan dipermanis dengan janji yang lebih muluk.

Sayangnya diskurs yang dikembangkan pada pemilihan langsung, bukan membangun prasarat calon pemimpin yang harus adil, kapabel, akuntabilitas, demokratis, menghargai perbedaan pandangan, berpihak pada masyarakat miskin dan keberlanjutan sumberdaya alam. Namun lebih pada parpol mana yang akan dijadikan kendaraan, daerah asal, politik perkoncoan dan penyogokan.

Lalu apakah kaitannya PILKADAL dengan sumberdaya alam? Sumberdaya alam merupakan salah satu isu utama yang penting serta saat ini dipakai oleh calon kepala daerah untuk menarik dukungan para pemilih. Bagi para calon yang berasal dari kalangan birokrat, keberhasilan mengeksploitasi sumberdaya alam untuk peningkatan PAD dianggap sebagai citra keberhasilan. Sementara janji untuk membebaskan penguasaan dan pengusahaan terus digelindingkan. Dampaknya akan menambah rumit persoalan pengelolaan sumberdaya alam yang saat ini telah begitu rumit. Ada contoh menarik yang tentang pengaduan para calon Bupati Sleman ke Panwas Pilkada terkait permintaan parpol untuk menyediakan dana sekitar 10 milyar rupiah agar bisa dicalonkan. Sayangnya kemudian parpol mencalonkan orang lain, dan calon yang gagal menuntut dan mengadu ke Panwas. Secara perhitungan ekonomi sederhana, apabila modal yang harus dikeluarkan minimal 10 milyar, sedangkan gaji Bupati sekitar 20 juta perbulan. Sehingga peran “sponsor” yang akan mendukung sumberdana bagi calon pemimpin sering menjadi kunci penting yang dibutuhkan untuk kesuksesan pencalonan.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah selama masa jabatan sebagai kepala daerah modal yang telah dikeluarkan akan kembali? Lalu apa yang akan dilakukan ketika sang calon sudah menjabat sebagai pemimpin daerah? Melakukan pilihan yang manusiawi, bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.

Keberadaan sumberdaya alam yang melimpah di banyak daerah di Indonesia, harusnya menjadi berkah untuk dikelola secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun faktanya malah sebaliknya, keberadaan sumberdaya alam yang melimpah seringkali dijadikan alat untuk diperas habis-habisan dengan argumentasi untuk membiayai pembangunan dan mungkin untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan.

Sangat wajar ketika kursi kekuasaan sudah ditangan poltik balas budi terhadap “sponsor” dilakukan. Akibat keberpihakan yang berlebihan terhadap para sponsor yang dimanifestasikan kedalam berbagai hak istimewa untuk mengeksploitasi sumberdaya alam telah menyebabkan terjadinya proses degradasi yang sangat parah dan dehumanisasi pada masyarakat,melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kebanyakan dan para sponsor. Akumulasi kesenjangan kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatnya KKN dan tidak terlaksananya penegakan hukum. Sebagai contoh kecil bagaimana proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan seperti areal konsesi HPH, HTI, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan dan kepentingan masyarakat lokal.

Pada bulan Juni, ketika pemilihan kepala daerah secara langsung akan dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Pada bulan yang sama juga diperingati hari Lingkungan hidup, tepatnya tanggal 5 Juni. Sangat relevan ketika komitmen terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan harus menjadi ukuran untuk memilih calon pemimpin daerah. Saat ini dibutuhkan para pemimpin yang mampu menjalankan pelaksanaan Otonomi Daerah dengan fikiran yang lurus. Sebab otonomi merupakan salah satu paradigma untuk mengurangi hegemoni pusat, memutus sentralisasi, mengakui keberagaman, mendorong proses pengakuan serta penghargaan terhadap inisiatif-inisiatif lokal didalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan yang terpenting bagaimana kepentingan masyarakat local yang selama ini tidak tersentuh ujung-ujung kepedulian menjadi diakui, dihormati dan diperjuangkan. Pemimpin yang mampu menjadikan suara rakyat sebagai suara kebijakan bukan malah sebaliknya, mendorong terciptanya asas pertanggung gugagatan, keterbukaan, adanya ruang untuk semua konstituen terlibat didalam penentuan arah pembangunan dengan prinsip kesetaraan. Konteks otonomi pengelolaan sumberdaya alamn adalah adanya komitmen dan konsistensi dari Pemimpin Daerah untuk menjaga keberlanjutan fungsi yang diikuti oleh perubahan paradigma menjadikan rakyat sebagai aktor utama.

Ketika semua itu terimplementasikan, Pilkadal bisa menjadi senjata ampuh untuk menjadi benteng penjaga keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. Namun ketika sebaliknya, hanya akan menjadi pemantik kerusakan sumberdaya alam. Banjir, longsor, kebakaran hutan, pencemaran dan hilangnya sumber kekayaan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, penghasil Oksigen, pengatur iklim mikro maupun makro akan melanda kita. Para calon pemilih. Ketika semua itu terjadi proses pilkadal tidak ubahnya bagai pil pahit yang harus semua kita semua rasakan. Ah...... lalu, pemimpin seperti apa yang akan kita pilih ? ?

Tidak ada komentar: