Rabu, 16 April 2008

Otonomi Daerah dan Bencana

BENCANA DAN OTONOMI DAERAH
(sebuah refleksi untuk pengusa dan pengusaha)


Bencana dan Potret Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Peringatan Tuhan sudah datang silih berganti, dari mulai kebakaran hutan, banjir, konflik etnis, munculnya hama penyakit tanaman, wabah dan lainnya. Tanda yang harusnya segera menjadi bahan refleksi para politikus dan birokrat. Mereka wajib melihat kembali apakah paradigma pembangunan yang dikembangkan selama ini masih efektif. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan. Ilmu ekonomi konvensional yang dipakai saat ini dan banyak berperan sebagai landasan pembangunan sangat jarang menyinggung masalah lingkungan. Mata tombak pelaku ekonomi didalam memanfaatkan fungsi ekonomi sumberdaya alam (hutan khususnya) yang dikedepankan hanya bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.

Dampaknya bencana datang setiap saat. Saat ini tidak ada peristiwa yang lebih memilukan, menghancurkan dan menakutkan dari bencana banjir, kekeringan dan kebakaran hutan yang menimpa Indonesia. Betapa sedihnya ketika orang-orang yang dicintai harus meninggalkan kita untuk selamanya karena kelaparan, sakit paru-paru atau hanyut terbawa banjir maupun tertimbun tanah longsor. Hampir tiap hari media masa memuat raut kesedihan orang tua kehilangan anak, istri kehilangan suami dan sebaliknya. Hasil tetesan keringat yang telah dikumpulkan berpuluh tahun musnah dalam beberapa detik, dan trauma psikologis yang harus ditanggung anak-anak .

Seperti biasa standar utama yang dijadikan alibi oleh pemerintah hanyalah alam. Alibi-alibi sederhana seperti itu harusnya sudah tidak perlu lagi dikemukakan ke publik, sebab bencana alam merupakan salah satu indikator kegagalam pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat untuk mengelola sumberdaya alam. Sehingga sangat sah ketika rakyat kemudian berfikir apakah masih cukup efektif mandat itu diberikan kepada Pemerintah ?

Persoalan pengelolaan sumberdaya alam sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana nasional saat ini telah begitu rumit, bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Karena berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan yang telah ada selama ini dan kian kompleks dengan terjadinya krisis multi dimensi yang berlangsung berkepanjangan. Sangat patut ketika rakyat sebagai pemberi mandat mempertanyakan sejauh mana nilai keberhasilan pembangunan ekonomi seperti ini , sementara dampak terhadap kerusakan lingkungan akibat proses pembangunan yang harus ditanggung oleh semua orang. Dampaknya sudah terjadi dan dirasakan seperti banjir besar-besaran diawal tahun ini, kebakaran hutan dalam skala besar, rusaknya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. Dengan kenyataan ini, upaya pelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif mutlak terus diupayakan.

Otonomi Daerah dan Peningkatan Laju Kerusakan Sumberdaya Alam Hutan

Esensi otonomi daerah sebenarnya adalah peningkatan proses dan kualitas sistim politik, bukan hanya pada soal pemindahan otoritas dari pusat ke daerah belaka. Sebagai contoh sistim politik dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam adalah sistim pengambilan keputusan yang lebih bersifat dan bermuatan lokal dan bagaimana menghidupkan sistim-sistim sosisal ekonomi budaya lokal. Prasarat yang harus dipenuhi didalam desentralisasi pengelolan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat yang berkelanjutan adalah komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan, demokrasi, keadilan sosial, pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab, pembangunan ekonomi kerakyatan dan penegakan serta penghormatan hak asasi manusia. Dimana salah satu hak politik rakyat yang paling mendasar adalah hak untuk mengelola sumberdaya alam, hak memperoleh keamanan dan kenyaman.

Idealnya pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan hukum dan perundangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosesdur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pembaharuan kebijakan sejauh ini baru sampai pada tataran kosep dan peraturan hukum serta perundangan tertulis, sedangkan implementasi yang seharusnya dilakukan dilapangan masih belum ada perubahan.

Kenyataannya proses penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan Sumber Daya Alam diterjemahkan terlalu sempit oleh Pemerintah Daerah. Otonomi hanya diartikan sebagai cara untuk meningkatan PAD sebesar-besarnya dengan cara apapun sebagai indikator kesuksesan. Sehingga sumberdaya hutan menjadi satu-satunya sapi perahan yang bisa dieksploitasi kapanpun. Penerapan seperti ini akan menguras sumberdaya alam pada titik kritis. Laporan Bank Dunia menjelaskan kalau hutan di Pulau Sumatera akan habis paling lama tahun 2010 apabila tidak ada perubahan pendekatan. Jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis telah menimbulkan kerusakan hutan seperti pembukaan lahan perkebunan besar swasta sawit, Konsesi pertambangan, areal transmigrasi, HPH/HTI, IPK dan lainnya. Pada massa otonomi diperparah dengan adanya ego administratif. Masing-masing daerah otonom cenderung melihat bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah tanpa melihat aspek kelestarian,keamanan maupun dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga para pengambil kebijakan yang tidak bijak berlomba-lomba membuka kran melalui tangan Dinas Kehutanan di Kabupaten berbagai izin eksploitasi. Argumen untuk kemakmuran rakyat ternyata hanya retorika belaka karena terbukti yang menikmati cucuran kran hanya para elit, pengusaha dan oknum penguasa. Rakyat tetap jadi buruh dan tamen kepentingan abadi.

Eksploitasi Sumberdaya Alam yang terjadi sebagai akibat pemikiran sektoral tersebut telah menimbulkan dampak terhadap wilayah yang lebih luas seperti rusaknya Daerah Aliran Sungai. Data terakhir Ditjend Sumberdaya Air Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah DAS kritis setiap tahun yang telah mengakibatkan hilangnya kemampuan DAS menyimpan air dimusim kemarau, meningkatnya frekwensi banjir tahunan, tidak memadai lagi akses pasokan air bersih untuk masyarakat, tingginya sedimentasi, yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa sistem lingkungan yang mendukung proses daur hidrologi sedang mengalami kerusakan.

Kenyataan-kenyataan diatas merupakan situasi implementasi otonomi daerah yang tidak berbeda dengan pra otonomi, karena masih tetap kurang memperhatikan aspek-aspek pelestarian sumberdaya hutan, manfaat masih tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, strategi penyelesaian krisis ekonomi tidak sejalan dengan upaya pelestarian sumberdaya hutan dan munculnya Perda-perda sektoral. Konsekuensi negatif eksploitasi berlebihan didaerah untuk mengejar PAD tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan harus segera diakhiri. Untuk itu harus segera dibuat rambu-rambu berupa peraturan perundangan didaerah, demokratisasi, transparansi, accountability , keadilan dan kejelasan hak dan kewajiban pusat dan daerah. Untuk mendorong bergulirnya otonomi daerah yang berwawasan lingkungan, kerakyatan, adil dan demokratis, ditingkat daerah perlu dikembangkan lembaga yang mampu berperan sebagai pendorong dan pemantau kebijakn serta bisa mengemas isu besar yang berkembang ditengah masyarakat.

Perubahan Paradigma Suatu Keharusan

Persoalan kerusakan sumberdaya hutan tidak berhenti sampai ketika kebakaran hutan berhenti sementara atau banjir mereda, dampak susulan yang lebih besar sudah muncul. Kelaparan akibat ikut musnahnya harta benda serta hasil pertanian, kehilangan tempat tinggal, penyakit menular, hancurnya akses transportasi, berubahnya iklim mikro dan makro yang mempengaruhi pola pertanian harus segera diarifi dan diwaspadai, karena kondisi ini bisa mengakibatkan terjadinya penurunan produksi pertanian.

Pemihakan yang berlebihan kepada para pengusaha oleh penguasa harus diakhiri saat ini juga. Karena semua dampak kerusakan hutan akan ditanggung oleh semua rakyat yang hidup didalam dan sekitar hutan, sementara pengusaha enak-enakan ber-weekend di Singapura. Pemerintah harus kembali keakar, bahwa pemegang mandat adalah rakyat! Bukan segelintir orang yang karena koneksi menjadi anak emas. Bahkan Ketua MPR Amien Rais dalam salah satu statemennya, mengaitkan masalah banjir dengan tidak responsifnya pemerintahan dan menuding Presiden Megawati Soekarnoputri lebih memihak konglomerat ketimbang rakyat kecil. Sementara itu Wakil Presiden Hamzah Haz menegaskan bahwa banjir bisa mengganggu penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, strata sosial masyarakat yang menderita dan kelabakan akibat bencana banjir besar selama ini telah sampai pada puncaknya, yakni pucuk pimpinan pemerintahan.

Ipung F. Purwanti salah seorang aktifis Ornop di Surabaya menganalisis bahwa kebijakan dalam mengatur dan mengelola lingkungan seyogianya dilakukan dengan menetapkan penataan ruang dan melestarikan ekosistem, serta pelaksanaannya yang konsisten dan penegakan perangkat hukum (rule of law). Maka itu, meskipun terlambat rencana pemerintah mencabut analisi mengenai dampak lingkungan (amdal) perusak lingkungan harus benar-benar dibuktikan di lapangan. Bukan sekadar retorika untuk menenteramkan kegelisahan warga yang terus didera petaka. Sejak lama faktor lingkungan tidak menempati option strategis para perencana pembangunan. Demikian juga dalam rencana tata ruang (RTRWK/RTRWP) posisi publik masyarakat, estetika dan etika lingkungan masih terkalahkan oleh kepentingan para pemilik modal.

Terjadinya bencana alam yang silih berganti merupakan refleksi dari kegagalan penterjemahan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga Pemda tidak perlu sungkan dan ragu untuk segera meminta maaf kepada publik sebagai konstituen atas ketidak mampuannya mengemban amanat. Pengalaman pahit harus menjadi cermin untuk merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam hutan kedepan. Tidak ada gunanya pembangunan dilakukan kalau dalam hitungan detik semuanya binasa. Jelas kerusakan ini sangat susah diukur secara eksak, karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan nurani untuk mengatasinya bukan pengelakan atau pembenaran. Pada dasarnya kunci utama untuk mengatasi masalah ini supaya tidak terulang dan diulang lagi adalah kesadaran dari pelaku. Selama sadar lingkungan belum tumbuh di hati para pelaku, dihati kita semua baik Pemerintah, pengusaha, LSM maupun masyarakat banyak, perangkat peraturan, hukum, teguran, himbauan, denda belum banyak gunanya karena masih bisa dikeliti dan dicari titik-titik lemahnya.

1 komentar:

Dari kampung untuk jagat raya mengatakan...

Tulisan yang pas dengan kondisi kekinian karena ada banyak pejabat, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang tersangkut kasus korupsi yang berkaitan dengan PSDA. Sekarang apa yang harus dilakukan untuk menjaga sumberdaya alam yang masih ada?