TATARUANG MIKRO, PILIHAN KEDEPAN UNTU MEWUJUDKAN PERAN SERTA MASYARAKAT DIDALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN YANG BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN
Ketika Kebakaran hutan terus jadi momok menakutkan setiap musim kemarau, atau illegal logging yang menjadi hantu setiap saat tanpa kenal musim, atau kebun-kebun karet maupun hutan adat dirubah menjadi tambang batu bara, perkebunan sawit serta HTI atau ketika sungai-sungai menjadi tempat sampah bagi logam-logam berat yang dipergunakan oleh para penambang untuk mengikat emas. Lalu harus dimana masyarakat bisa hidup tenang, dengan lingkungan yang bersih dan sehat? Kondisi ini melahirkan titik puncak kebuntuan dan keputusasaan berbagai pihak untuk mengatasi berbagai persoalan pengelolaan sumberdaya hutan seperti illegal logging, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan besar sawit, areal pertambangan serta transmigrasi, perencanaan yang sektoral, minimnya partisipasi masyarakat dan dampak euforia otonomi daerah. Dimulainya proses penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan Sumber Daya Hutan, di satu sisi dapat dilihat sebagai peluang peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola potensi Sumber Daya Hutan. Namun disisi lain euforia dan pengertian sempit otonomi oleh pemerintah daerah yang mengartikan peningkatan PAD sebagai indikator kesuksesan otonomi bisa menjadi bumerang bagi Sumber Daya Hutan di daerah. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah hutan hanya dilihat secara parsial sebagai sumber PAD yang potensial dan cepat menghasilkan. Jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis telah menimbulkan kerusakan hutan, maka dengan fenomena ini ancaman tersebut ditambah dengan adanya ego administratif. Masing-masing daerah otonom cenderung melihat bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah.
Kondisi ini dipicu karena politik pengelolaan sumberdaya alam hutan lebih mengedepankan aspek eksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lebih mengutamakan usaha dalam skala besar. Untuk itu, lahirlah sejumlah undang-undang yang bersifat sektoral seperti: UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Perikanan, UU Pokok Penataan Ruang, dan lainnya. Penerbitan sejumlah undang-undang ini lebih pada upaya untuk mempermudah proses eksploitasi sumberdaya yang masih tersisa. Sangat dipahami karena sumberdaya hutan berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan.
Sehingga mutlak dicari pendekatan baru yang mampu menjadi jembatan bagi para pihak untuk bisa berkontribusi didalam merancang tata ruang pengelolaan hutan sebagai upaya melindungi kawasan hutan yang masih tersisa. Sebab musnahnya hutan akan menjadi kiamat baru bagi masyarakat miskin yang hidup didalam dan sekitar hutan. Seperti diketahui bersama sebagian besar desa-desa disekitar hutan kehidupan masyarakatnya masih sangat bergantung pada sumber daya hutan, baik berupa kayu maupun hasil hutan non-kayu. Banyak data yang menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan tetap miskin dan semakin marginal akibat kehilangan sumber daya hutan. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2005) menjelaskan bahwa pada tahun 2000 terdapat sekitar 4.386.381 keluarga miskin di Sumatera.
Tataruang Mikro, sebuah pilihan
Berdasarkan hasil proses belajar didalam memfasilitasi inisiatif pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat di Sumatera bagian Selatan, pada berbagai tipologi wilayah baik yang berkonflik dengan kawasan Konservasi, konsesi, transmigrasi dan kawasan yang dikelola menggunakan kaidah adat. Diperoleh beberapa hasil dimana masyarakat sangat memahami bagaimana cara mengelola sumberdayanya, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Kondisi harmonis didalam hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya melahirkan konsep yang telah dipraktekan selama bertahun-tahun dan telah memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk berupaya mempertahan keberlanjutan fungsi sumberdaya tanpa meninggalkan aspek ekonomisnya. Pola keruangan disebagian besar daerah fasilitasi merupakan pola yang mengedepankan kaidah konservasi dimana bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam yang disangga oleh kawasan areal budidaya dan pemukiman berada di bawahnya. Masyarakat sangat berkepentingan dengan pola keruangan seperti ini, sebab jika ini tidak dipertahankan maka akan menimbulkan akibat-akibat seperti tanah longsor, serangan binatang buas dan hama, pencucian hara, berkurangnya sumber air. Lebih jauh kerugian yang akan timbul dengan tidak terpeliharanya pola keruangan seperti ini adalah hilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakat yang bermuara pada kehancuran sistim sosial.
Masyarakat sekitar hutan sebagai pemanfaat langsung sumberdaya alam harus menjadi aktor utama penentu dan penata pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Keterlibatan para tokoh adat, pemerintahan desa, pegawai syara, pemuda dan perempuan serta badan pengelola dalam setiap pengambilan keputusan penting dalam pemanfaatan ruang dan lahan menjadi hal yang paling mendasar dan tidak boleh tidak. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten sebagai pihak pemegang dan pembuat kebijakan ditingkat mikro harus merespon dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Selain itu peran mediasi dan fasilitasi dalam setiap pennyelesaian batas dan pemanfataan ruang juga mesti dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten terutama instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Bagian Hukum dan Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten. Lembaga adat kecamatan dan kabupaten berperan sebagai sumber informasi dan memberikan masukan dan argumen dalam pemanfaatan ruang dan persoalan batas berdasarkan nilai-nilai dan ketentuan yang berlaku secara turun temurun. Sedangkan pengusaha sebagai pihak pemanfaat, penampung pengolah dan penyalur sumberdaya alam harus melakukan kerjasama yang saling menguntungan dengan masyarakat dengan mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutan sumberdaya alam yang dikelola.
Tataruang Mikro sebagai wujud dari implementasi peran serta masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan bukanlah sesuatu yang mengada-ada, namun merupakan upaya yang dilindungi oleh berbagai payung hukum di republik ini. Beberapa payung hukum terkait dengan hal itu adalah UUD 1945, Amandemen ke-2, pasal 28F, yang berbunyi setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Kemudian UU No 28 Tahun1999 tentang Penyelengaraan Negara Bebas KKN, dimana masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, dan berhak untuk menyampaikan pendapat dan masukan terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintah, ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat didalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 5 Tahun1998 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Persoalan mendasar didalam mendorong tataruang mikro sebagai alat perencanaan pengelolaan ditingkat komunitas sebagai perwujudan partisipasi masyarakat didalam mengimplementasikan proses pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat berupa: a) tidak tanggapnya Pemerintah Daerah didalam merespon arus perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat, b) Inkonsistensi terhadap produk hukum yang telah dihasilkan, c) konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan, d) belum adanya dukungan perangkat kebijakan terhadap inisiatif masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, e) konflik horizontal akibat tumpang tindih peruntukan yang disebabkan ketidak konsistenan terhadap RTRWK, f) kebijakan otonomi daerah yang mengobral dengan murah sumberdaya hutan kepada para investor untuk memenuhi peningkatan PAD, h) lunturnya norma adat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, I) lemahnya penegakan hukum, baik hukum adat maupun hukum positif.
Sebenarnya tataruang bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat, jauh sebelum negara ini berdiri mereka sudah mempunyai konsep-konsep pengelolaan ruang. Beberapa warisan pemikiran yang bijak senantiasa diturunkan oleh para tetua adat, Ninik mamak dan lainnya lewat petatah-petitih adat yang berbunyi ”Nan lereang ditanam tabu, nan gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburan, nan gauang ka tabe ikan, nan lambah kubangan kabau, dan nan padek ka parumahan” (dalam bahasa Indonesia berarti yang lereng ditanami tebu, yang datar dibuat ladang, yang berlumpur di buat sawah,yang kering dibuat pekuburan, yang berair dibuat kolam ikan, yang dilembag untuk kubangan kerbau dan yang kersa untuk pemukiman). Gambaran tersebut merupakan bukti kalau secara tradisional masyarakat adat dan lokal secara luar biasa telah mampu membuat perencanaan ruang (tataruang mikro) yang berbasis pada potensi lokal. Ungkapan tersebut menggambarkan adanya keterkaitan antara pemanfaatan lahan dengan peruntukannya baik secara estetika, ekologi, ekonomi dan ungkapan-ungkapan tersebut sampai saat ini masih menjadi pedoman pengelolaan sumberdaya hutan. Tetapi sangat disayangkan bahwa kebijakan pembangunan sampai saat ini masih belum sepenuhnya mempertimbangkan keselarasan hubungan dan keterkaitan kearifan, pengetahuan dan teknologi lokal.
Pada masa Raja Jambi, masyarakat adat Guguk salah satu desa di Provinsi Jambi telah mempunyai konsep ruang seperti yang tertuang didalam Piagam Lantak Sepadan Marga Pembarap yang diserahkan Sultan Anom Seri Mogoro (Senin, bulan Syafar 1170 H) "…hutan dan tanahnya itu hinggo Teluk Serambi terus ke Tebat Gedang Tanjung Selasah terus ke Bukit Cempedak turun ke Setepung merampung ke Ulu Masat terus ke Serik Bedjadjo habis bateh dengan Masumai terus ke Pematang Buluh apo berbatas dengan Depati Ma. Langkap terus ke Renah Utan Udang berwatas dengan Serampas/Dusun Tuo terjun ke Ulu Mangkanang berbatas dengan Sengrahan dan Tiang Pumpung seekor ikannya sebingkah tanahnya dan setitik airnya adalah milik Depati Pembarap". Petatah petitih tersebut ketika dilakukan pemetaan partisipatif ternyata membentuk sebuah ruang dengan berbagai kekhasannya.
Masyarakat ketika memanfaatkan ruang-ruang kelolanya masih menjadikan pepatah adat sebagai rujukan. Misalnya proses pemanfaatan sumberdaya untuk membuat ladang diatur secara adat, dimana peran tetua adat baik Tuo Tengganai, Ninik Mamak dan cerdik pandai cukup dominan. Sistim pertanian diawali dengan pemilihan lahan calon lokasi ladang, penebasan, penebangan, pembakaran, pembersihan ladang, penanaman, pemeliharaan sampai panen dilakukan secara tradisonal. Pengerjaan kegiatan berladang biasanya dilakukan secara kolektif dan bergiliran antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam satu areal atau hamparan perladangan dikenal dengan istilah banjar yang dipimpin oleh Tuo Banjar. Lokasinya dipilih dekat dengan aliran sungai dengan anggapan tanahnya akan lebih subur, mencegah kebakaran, selain dekat dengan sumber air untuk mandi, cuci, air minum dan tempat mencari ikan serta sarana transportasi mengangkut hasil pertanian.
Tapi pertanyaannya adalah kenapa sangat sulit mendorong upaya pengakuan tataruang mikro kedalam Tataruang Kabupaten. Padahal dengan diakuinya tataruang mikro paling tidak akan sangat bermanfaat bagi Pemerintah dimana akan mendorong lahirnya kebijakan dan peraturan yang mendapat legitimasi dari masyarakat, terimplementasikannya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis (transparan, pelibatan masyarakat dan berjalannya akuntabilitas publik), adanya peluang dan mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dalam penyusunan rencana pengelolaan ruang mikro sebagai upaya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, mencegah lahirnya tataruang yang tidak dapat diimplementasikan dilapangan serta menimbulkan konflik, mencegah lahirnya kebijakan yang hanya menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu, mencegah munculnya konflik horizontal/vertikal terkait dengan penetapan kawasan lindung dan konsesi yang menyangkut tanah adat, atau penataan ruang yang menyalahi kaidah-kaidah tertentu serta mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang akhir-akhir ini terus menipis.
Tataruang Mikro yang telah diinisisi masyarakat, dalam wujud nyata bisa berbentuk hutan adat, rimbo pusako, rimbo parabukalo, rimbo larangan, lubuk larangan, lebung larangan, parak, talang dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut bukan sesuatu yang berdiri sendiri namun merupakan suatu sistim pengelolaan kawasan berbasis ekosistem lokal yang elemennya terdiri dari hutan alam, hutan adat, sungai, rawa, kolam, danau, ladang, parak, kampung, tanah pekuburan dan lainnya. Sistim ini berfungsi sebagai penopang kehidupan dan sumber-sumber pengembangan kebudayaan setempat, dimana sistim ini akan memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi. Sistim ini menggambarkan kalau setiap mata pencaharian bersifat saling melengkapi. Intinya kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari hasil ladang dan kebun karet, sedangkan untuk kebutuhan obat-obatan dan non pangan di peroleh dari hutan adat, baik hasil hutan nonkayu, lokasi berburu dan menangkap ikan di sungai.
Tidak ada gunanya pembangunan dilakukan kalau teknologi dan kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun diabaikan. Banyak pihak percaya bahwa konsep-konsep pengelolaan hutan yang dibangun berdasarkan tataruang mikro, dapat memberi jawaban atas berbagai masalah kehutanan juga mampu memberi manfaat juga bagi negara dan yang terpenting dapat dipertanggung jawabkan keberlanjutannya secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya. Namun tentu saja ini perlu dukungan untuk mempromosikan konsep tataruang mikro, sehingga dapat diakomodasi oleh para pengambil kebijakan sebagai inti utama bagi penyusunan tataruang yang lebih besar (Kabupaten maupun Provinsi) .
Rabu, 16 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar