Rabu, 16 April 2008

Otonomi Daerah dan Bencana

BENCANA DAN OTONOMI DAERAH
(sebuah refleksi untuk pengusa dan pengusaha)


Bencana dan Potret Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Peringatan Tuhan sudah datang silih berganti, dari mulai kebakaran hutan, banjir, konflik etnis, munculnya hama penyakit tanaman, wabah dan lainnya. Tanda yang harusnya segera menjadi bahan refleksi para politikus dan birokrat. Mereka wajib melihat kembali apakah paradigma pembangunan yang dikembangkan selama ini masih efektif. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan. Ilmu ekonomi konvensional yang dipakai saat ini dan banyak berperan sebagai landasan pembangunan sangat jarang menyinggung masalah lingkungan. Mata tombak pelaku ekonomi didalam memanfaatkan fungsi ekonomi sumberdaya alam (hutan khususnya) yang dikedepankan hanya bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.

Dampaknya bencana datang setiap saat. Saat ini tidak ada peristiwa yang lebih memilukan, menghancurkan dan menakutkan dari bencana banjir, kekeringan dan kebakaran hutan yang menimpa Indonesia. Betapa sedihnya ketika orang-orang yang dicintai harus meninggalkan kita untuk selamanya karena kelaparan, sakit paru-paru atau hanyut terbawa banjir maupun tertimbun tanah longsor. Hampir tiap hari media masa memuat raut kesedihan orang tua kehilangan anak, istri kehilangan suami dan sebaliknya. Hasil tetesan keringat yang telah dikumpulkan berpuluh tahun musnah dalam beberapa detik, dan trauma psikologis yang harus ditanggung anak-anak .

Seperti biasa standar utama yang dijadikan alibi oleh pemerintah hanyalah alam. Alibi-alibi sederhana seperti itu harusnya sudah tidak perlu lagi dikemukakan ke publik, sebab bencana alam merupakan salah satu indikator kegagalam pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat untuk mengelola sumberdaya alam. Sehingga sangat sah ketika rakyat kemudian berfikir apakah masih cukup efektif mandat itu diberikan kepada Pemerintah ?

Persoalan pengelolaan sumberdaya alam sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana nasional saat ini telah begitu rumit, bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Karena berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan yang telah ada selama ini dan kian kompleks dengan terjadinya krisis multi dimensi yang berlangsung berkepanjangan. Sangat patut ketika rakyat sebagai pemberi mandat mempertanyakan sejauh mana nilai keberhasilan pembangunan ekonomi seperti ini , sementara dampak terhadap kerusakan lingkungan akibat proses pembangunan yang harus ditanggung oleh semua orang. Dampaknya sudah terjadi dan dirasakan seperti banjir besar-besaran diawal tahun ini, kebakaran hutan dalam skala besar, rusaknya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. Dengan kenyataan ini, upaya pelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif mutlak terus diupayakan.

Otonomi Daerah dan Peningkatan Laju Kerusakan Sumberdaya Alam Hutan

Esensi otonomi daerah sebenarnya adalah peningkatan proses dan kualitas sistim politik, bukan hanya pada soal pemindahan otoritas dari pusat ke daerah belaka. Sebagai contoh sistim politik dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam adalah sistim pengambilan keputusan yang lebih bersifat dan bermuatan lokal dan bagaimana menghidupkan sistim-sistim sosisal ekonomi budaya lokal. Prasarat yang harus dipenuhi didalam desentralisasi pengelolan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat yang berkelanjutan adalah komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan, demokrasi, keadilan sosial, pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab, pembangunan ekonomi kerakyatan dan penegakan serta penghormatan hak asasi manusia. Dimana salah satu hak politik rakyat yang paling mendasar adalah hak untuk mengelola sumberdaya alam, hak memperoleh keamanan dan kenyaman.

Idealnya pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan hukum dan perundangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosesdur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pembaharuan kebijakan sejauh ini baru sampai pada tataran kosep dan peraturan hukum serta perundangan tertulis, sedangkan implementasi yang seharusnya dilakukan dilapangan masih belum ada perubahan.

Kenyataannya proses penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan Sumber Daya Alam diterjemahkan terlalu sempit oleh Pemerintah Daerah. Otonomi hanya diartikan sebagai cara untuk meningkatan PAD sebesar-besarnya dengan cara apapun sebagai indikator kesuksesan. Sehingga sumberdaya hutan menjadi satu-satunya sapi perahan yang bisa dieksploitasi kapanpun. Penerapan seperti ini akan menguras sumberdaya alam pada titik kritis. Laporan Bank Dunia menjelaskan kalau hutan di Pulau Sumatera akan habis paling lama tahun 2010 apabila tidak ada perubahan pendekatan. Jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis telah menimbulkan kerusakan hutan seperti pembukaan lahan perkebunan besar swasta sawit, Konsesi pertambangan, areal transmigrasi, HPH/HTI, IPK dan lainnya. Pada massa otonomi diperparah dengan adanya ego administratif. Masing-masing daerah otonom cenderung melihat bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah tanpa melihat aspek kelestarian,keamanan maupun dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga para pengambil kebijakan yang tidak bijak berlomba-lomba membuka kran melalui tangan Dinas Kehutanan di Kabupaten berbagai izin eksploitasi. Argumen untuk kemakmuran rakyat ternyata hanya retorika belaka karena terbukti yang menikmati cucuran kran hanya para elit, pengusaha dan oknum penguasa. Rakyat tetap jadi buruh dan tamen kepentingan abadi.

Eksploitasi Sumberdaya Alam yang terjadi sebagai akibat pemikiran sektoral tersebut telah menimbulkan dampak terhadap wilayah yang lebih luas seperti rusaknya Daerah Aliran Sungai. Data terakhir Ditjend Sumberdaya Air Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah DAS kritis setiap tahun yang telah mengakibatkan hilangnya kemampuan DAS menyimpan air dimusim kemarau, meningkatnya frekwensi banjir tahunan, tidak memadai lagi akses pasokan air bersih untuk masyarakat, tingginya sedimentasi, yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa sistem lingkungan yang mendukung proses daur hidrologi sedang mengalami kerusakan.

Kenyataan-kenyataan diatas merupakan situasi implementasi otonomi daerah yang tidak berbeda dengan pra otonomi, karena masih tetap kurang memperhatikan aspek-aspek pelestarian sumberdaya hutan, manfaat masih tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, strategi penyelesaian krisis ekonomi tidak sejalan dengan upaya pelestarian sumberdaya hutan dan munculnya Perda-perda sektoral. Konsekuensi negatif eksploitasi berlebihan didaerah untuk mengejar PAD tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan harus segera diakhiri. Untuk itu harus segera dibuat rambu-rambu berupa peraturan perundangan didaerah, demokratisasi, transparansi, accountability , keadilan dan kejelasan hak dan kewajiban pusat dan daerah. Untuk mendorong bergulirnya otonomi daerah yang berwawasan lingkungan, kerakyatan, adil dan demokratis, ditingkat daerah perlu dikembangkan lembaga yang mampu berperan sebagai pendorong dan pemantau kebijakn serta bisa mengemas isu besar yang berkembang ditengah masyarakat.

Perubahan Paradigma Suatu Keharusan

Persoalan kerusakan sumberdaya hutan tidak berhenti sampai ketika kebakaran hutan berhenti sementara atau banjir mereda, dampak susulan yang lebih besar sudah muncul. Kelaparan akibat ikut musnahnya harta benda serta hasil pertanian, kehilangan tempat tinggal, penyakit menular, hancurnya akses transportasi, berubahnya iklim mikro dan makro yang mempengaruhi pola pertanian harus segera diarifi dan diwaspadai, karena kondisi ini bisa mengakibatkan terjadinya penurunan produksi pertanian.

Pemihakan yang berlebihan kepada para pengusaha oleh penguasa harus diakhiri saat ini juga. Karena semua dampak kerusakan hutan akan ditanggung oleh semua rakyat yang hidup didalam dan sekitar hutan, sementara pengusaha enak-enakan ber-weekend di Singapura. Pemerintah harus kembali keakar, bahwa pemegang mandat adalah rakyat! Bukan segelintir orang yang karena koneksi menjadi anak emas. Bahkan Ketua MPR Amien Rais dalam salah satu statemennya, mengaitkan masalah banjir dengan tidak responsifnya pemerintahan dan menuding Presiden Megawati Soekarnoputri lebih memihak konglomerat ketimbang rakyat kecil. Sementara itu Wakil Presiden Hamzah Haz menegaskan bahwa banjir bisa mengganggu penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, strata sosial masyarakat yang menderita dan kelabakan akibat bencana banjir besar selama ini telah sampai pada puncaknya, yakni pucuk pimpinan pemerintahan.

Ipung F. Purwanti salah seorang aktifis Ornop di Surabaya menganalisis bahwa kebijakan dalam mengatur dan mengelola lingkungan seyogianya dilakukan dengan menetapkan penataan ruang dan melestarikan ekosistem, serta pelaksanaannya yang konsisten dan penegakan perangkat hukum (rule of law). Maka itu, meskipun terlambat rencana pemerintah mencabut analisi mengenai dampak lingkungan (amdal) perusak lingkungan harus benar-benar dibuktikan di lapangan. Bukan sekadar retorika untuk menenteramkan kegelisahan warga yang terus didera petaka. Sejak lama faktor lingkungan tidak menempati option strategis para perencana pembangunan. Demikian juga dalam rencana tata ruang (RTRWK/RTRWP) posisi publik masyarakat, estetika dan etika lingkungan masih terkalahkan oleh kepentingan para pemilik modal.

Terjadinya bencana alam yang silih berganti merupakan refleksi dari kegagalan penterjemahan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga Pemda tidak perlu sungkan dan ragu untuk segera meminta maaf kepada publik sebagai konstituen atas ketidak mampuannya mengemban amanat. Pengalaman pahit harus menjadi cermin untuk merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam hutan kedepan. Tidak ada gunanya pembangunan dilakukan kalau dalam hitungan detik semuanya binasa. Jelas kerusakan ini sangat susah diukur secara eksak, karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan nurani untuk mengatasinya bukan pengelakan atau pembenaran. Pada dasarnya kunci utama untuk mengatasi masalah ini supaya tidak terulang dan diulang lagi adalah kesadaran dari pelaku. Selama sadar lingkungan belum tumbuh di hati para pelaku, dihati kita semua baik Pemerintah, pengusaha, LSM maupun masyarakat banyak, perangkat peraturan, hukum, teguran, himbauan, denda belum banyak gunanya karena masih bisa dikeliti dan dicari titik-titik lemahnya.

Pemetaan Partisipatif

TATARUANG MIKRO, PILIHAN KEDEPAN UNTU MEWUJUDKAN PERAN SERTA MASYARAKAT DIDALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN YANG BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN


Ketika Kebakaran hutan terus jadi momok menakutkan setiap musim kemarau, atau illegal logging yang menjadi hantu setiap saat tanpa kenal musim, atau kebun-kebun karet maupun hutan adat dirubah menjadi tambang batu bara, perkebunan sawit serta HTI atau ketika sungai-sungai menjadi tempat sampah bagi logam-logam berat yang dipergunakan oleh para penambang untuk mengikat emas. Lalu harus dimana masyarakat bisa hidup tenang, dengan lingkungan yang bersih dan sehat? Kondisi ini melahirkan titik puncak kebuntuan dan keputusasaan berbagai pihak untuk mengatasi berbagai persoalan pengelolaan sumberdaya hutan seperti illegal logging, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan besar sawit, areal pertambangan serta transmigrasi, perencanaan yang sektoral, minimnya partisipasi masyarakat dan dampak euforia otonomi daerah. Dimulainya proses penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan Sumber Daya Hutan, di satu sisi dapat dilihat sebagai peluang peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola potensi Sumber Daya Hutan. Namun disisi lain euforia dan pengertian sempit otonomi oleh pemerintah daerah yang mengartikan peningkatan PAD sebagai indikator kesuksesan otonomi bisa menjadi bumerang bagi Sumber Daya Hutan di daerah. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah hutan hanya dilihat secara parsial sebagai sumber PAD yang potensial dan cepat menghasilkan. Jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis telah menimbulkan kerusakan hutan, maka dengan fenomena ini ancaman tersebut ditambah dengan adanya ego administratif. Masing-masing daerah otonom cenderung melihat bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah.

Kondisi ini dipicu karena politik pengelolaan sumberdaya alam hutan lebih mengedepankan aspek eksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lebih mengutamakan usaha dalam skala besar. Untuk itu, lahirlah sejumlah undang-undang yang bersifat sektoral seperti: UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Perikanan, UU Pokok Penataan Ruang, dan lainnya. Penerbitan sejumlah undang-undang ini lebih pada upaya untuk mempermudah proses eksploitasi sumberdaya yang masih tersisa. Sangat dipahami karena sumberdaya hutan berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan.

Sehingga mutlak dicari pendekatan baru yang mampu menjadi jembatan bagi para pihak untuk bisa berkontribusi didalam merancang tata ruang pengelolaan hutan sebagai upaya melindungi kawasan hutan yang masih tersisa. Sebab musnahnya hutan akan menjadi kiamat baru bagi masyarakat miskin yang hidup didalam dan sekitar hutan. Seperti diketahui bersama sebagian besar desa-desa disekitar hutan kehidupan masyarakatnya masih sangat bergantung pada sumber daya hutan, baik berupa kayu maupun hasil hutan non-kayu. Banyak data yang menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan tetap miskin dan semakin marginal akibat kehilangan sumber daya hutan. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2005) menjelaskan bahwa pada tahun 2000 terdapat sekitar 4.386.381 keluarga miskin di Sumatera.


Tataruang Mikro, sebuah pilihan

Berdasarkan hasil proses belajar didalam memfasilitasi inisiatif pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat di Sumatera bagian Selatan, pada berbagai tipologi wilayah baik yang berkonflik dengan kawasan Konservasi, konsesi, transmigrasi dan kawasan yang dikelola menggunakan kaidah adat. Diperoleh beberapa hasil dimana masyarakat sangat memahami bagaimana cara mengelola sumberdayanya, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Kondisi harmonis didalam hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya melahirkan konsep yang telah dipraktekan selama bertahun-tahun dan telah memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk berupaya mempertahan keberlanjutan fungsi sumberdaya tanpa meninggalkan aspek ekonomisnya. Pola keruangan disebagian besar daerah fasilitasi merupakan pola yang mengedepankan kaidah konservasi dimana bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam yang disangga oleh kawasan areal budidaya dan pemukiman berada di bawahnya. Masyarakat sangat berkepentingan dengan pola keruangan seperti ini, sebab jika ini tidak dipertahankan maka akan menimbulkan akibat-akibat seperti tanah longsor, serangan binatang buas dan hama, pencucian hara, berkurangnya sumber air. Lebih jauh kerugian yang akan timbul dengan tidak terpeliharanya pola keruangan seperti ini adalah hilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakat yang bermuara pada kehancuran sistim sosial.

Masyarakat sekitar hutan sebagai pemanfaat langsung sumberdaya alam harus menjadi aktor utama penentu dan penata pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Keterlibatan para tokoh adat, pemerintahan desa, pegawai syara, pemuda dan perempuan serta badan pengelola dalam setiap pengambilan keputusan penting dalam pemanfaatan ruang dan lahan menjadi hal yang paling mendasar dan tidak boleh tidak. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten sebagai pihak pemegang dan pembuat kebijakan ditingkat mikro harus merespon dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Selain itu peran mediasi dan fasilitasi dalam setiap pennyelesaian batas dan pemanfataan ruang juga mesti dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten terutama instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Bagian Hukum dan Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten. Lembaga adat kecamatan dan kabupaten berperan sebagai sumber informasi dan memberikan masukan dan argumen dalam pemanfaatan ruang dan persoalan batas berdasarkan nilai-nilai dan ketentuan yang berlaku secara turun temurun. Sedangkan pengusaha sebagai pihak pemanfaat, penampung pengolah dan penyalur sumberdaya alam harus melakukan kerjasama yang saling menguntungan dengan masyarakat dengan mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutan sumberdaya alam yang dikelola.

Tataruang Mikro sebagai wujud dari implementasi peran serta masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan bukanlah sesuatu yang mengada-ada, namun merupakan upaya yang dilindungi oleh berbagai payung hukum di republik ini. Beberapa payung hukum terkait dengan hal itu adalah UUD 1945, Amandemen ke-2, pasal 28F, yang berbunyi setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Kemudian UU No 28 Tahun1999 tentang Penyelengaraan Negara Bebas KKN, dimana masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, dan berhak untuk menyampaikan pendapat dan masukan terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintah, ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat didalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 5 Tahun1998 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Persoalan mendasar didalam mendorong tataruang mikro sebagai alat perencanaan pengelolaan ditingkat komunitas sebagai perwujudan partisipasi masyarakat didalam mengimplementasikan proses pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat berupa: a) tidak tanggapnya Pemerintah Daerah didalam merespon arus perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat, b) Inkonsistensi terhadap produk hukum yang telah dihasilkan, c) konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan, d) belum adanya dukungan perangkat kebijakan terhadap inisiatif masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, e) konflik horizontal akibat tumpang tindih peruntukan yang disebabkan ketidak konsistenan terhadap RTRWK, f) kebijakan otonomi daerah yang mengobral dengan murah sumberdaya hutan kepada para investor untuk memenuhi peningkatan PAD, h) lunturnya norma adat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, I) lemahnya penegakan hukum, baik hukum adat maupun hukum positif.

Sebenarnya tataruang bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat, jauh sebelum negara ini berdiri mereka sudah mempunyai konsep-konsep pengelolaan ruang. Beberapa warisan pemikiran yang bijak senantiasa diturunkan oleh para tetua adat, Ninik mamak dan lainnya lewat petatah-petitih adat yang berbunyi ”Nan lereang ditanam tabu, nan gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburan, nan gauang ka tabe ikan, nan lambah kubangan kabau, dan nan padek ka parumahan” (dalam bahasa Indonesia berarti yang lereng ditanami tebu, yang datar dibuat ladang, yang berlumpur di buat sawah,yang kering dibuat pekuburan, yang berair dibuat kolam ikan, yang dilembag untuk kubangan kerbau dan yang kersa untuk pemukiman). Gambaran tersebut merupakan bukti kalau secara tradisional masyarakat adat dan lokal secara luar biasa telah mampu membuat perencanaan ruang (tataruang mikro) yang berbasis pada potensi lokal. Ungkapan tersebut menggambarkan adanya keterkaitan antara pemanfaatan lahan dengan peruntukannya baik secara estetika, ekologi, ekonomi dan ungkapan-ungkapan tersebut sampai saat ini masih menjadi pedoman pengelolaan sumberdaya hutan. Tetapi sangat disayangkan bahwa kebijakan pembangunan sampai saat ini masih belum sepenuhnya mempertimbangkan keselarasan hubungan dan keterkaitan kearifan, pengetahuan dan teknologi lokal.

Pada masa Raja Jambi, masyarakat adat Guguk salah satu desa di Provinsi Jambi telah mempunyai konsep ruang seperti yang tertuang didalam Piagam Lantak Sepadan Marga Pembarap yang diserahkan Sultan Anom Seri Mogoro (Senin, bulan Syafar 1170 H) "…hutan dan tanahnya itu hinggo Teluk Serambi terus ke Tebat Gedang Tanjung Selasah terus ke Bukit Cempedak turun ke Setepung merampung ke Ulu Masat terus ke Serik Bedjadjo habis bateh dengan Masumai terus ke Pematang Buluh apo berbatas dengan Depati Ma. Langkap terus ke Renah Utan Udang berwatas dengan Serampas/Dusun Tuo terjun ke Ulu Mangkanang berbatas dengan Sengrahan dan Tiang Pumpung seekor ikannya sebingkah tanahnya dan setitik airnya adalah milik Depati Pembarap". Petatah petitih tersebut ketika dilakukan pemetaan partisipatif ternyata membentuk sebuah ruang dengan berbagai kekhasannya.

Masyarakat ketika memanfaatkan ruang-ruang kelolanya masih menjadikan pepatah adat sebagai rujukan. Misalnya proses pemanfaatan sumberdaya untuk membuat ladang diatur secara adat, dimana peran tetua adat baik Tuo Tengganai, Ninik Mamak dan cerdik pandai cukup dominan. Sistim pertanian diawali dengan pemilihan lahan calon lokasi ladang, penebasan, penebangan, pembakaran, pembersihan ladang, penanaman, pemeliharaan sampai panen dilakukan secara tradisonal. Pengerjaan kegiatan berladang biasanya dilakukan secara kolektif dan bergiliran antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam satu areal atau hamparan perladangan dikenal dengan istilah banjar yang dipimpin oleh Tuo Banjar. Lokasinya dipilih dekat dengan aliran sungai dengan anggapan tanahnya akan lebih subur, mencegah kebakaran, selain dekat dengan sumber air untuk mandi, cuci, air minum dan tempat mencari ikan serta sarana transportasi mengangkut hasil pertanian.

Tapi pertanyaannya adalah kenapa sangat sulit mendorong upaya pengakuan tataruang mikro kedalam Tataruang Kabupaten. Padahal dengan diakuinya tataruang mikro paling tidak akan sangat bermanfaat bagi Pemerintah dimana akan mendorong lahirnya kebijakan dan peraturan yang mendapat legitimasi dari masyarakat, terimplementasikannya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis (transparan, pelibatan masyarakat dan berjalannya akuntabilitas publik), adanya peluang dan mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dalam penyusunan rencana pengelolaan ruang mikro sebagai upaya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, mencegah lahirnya tataruang yang tidak dapat diimplementasikan dilapangan serta menimbulkan konflik, mencegah lahirnya kebijakan yang hanya menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu, mencegah munculnya konflik horizontal/vertikal terkait dengan penetapan kawasan lindung dan konsesi yang menyangkut tanah adat, atau penataan ruang yang menyalahi kaidah-kaidah tertentu serta mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang akhir-akhir ini terus menipis.

Tataruang Mikro yang telah diinisisi masyarakat, dalam wujud nyata bisa berbentuk hutan adat, rimbo pusako, rimbo parabukalo, rimbo larangan, lubuk larangan, lebung larangan, parak, talang dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut bukan sesuatu yang berdiri sendiri namun merupakan suatu sistim pengelolaan kawasan berbasis ekosistem lokal yang elemennya terdiri dari hutan alam, hutan adat, sungai, rawa, kolam, danau, ladang, parak, kampung, tanah pekuburan dan lainnya. Sistim ini berfungsi sebagai penopang kehidupan dan sumber-sumber pengembangan kebudayaan setempat, dimana sistim ini akan memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi. Sistim ini menggambarkan kalau setiap mata pencaharian bersifat saling melengkapi. Intinya kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari hasil ladang dan kebun karet, sedangkan untuk kebutuhan obat-obatan dan non pangan di peroleh dari hutan adat, baik hasil hutan nonkayu, lokasi berburu dan menangkap ikan di sungai.

Tidak ada gunanya pembangunan dilakukan kalau teknologi dan kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun diabaikan. Banyak pihak percaya bahwa konsep-konsep pengelolaan hutan yang dibangun berdasarkan tataruang mikro, dapat memberi jawaban atas berbagai masalah kehutanan juga mampu memberi manfaat juga bagi negara dan yang terpenting dapat dipertanggung jawabkan keberlanjutannya secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya. Namun tentu saja ini perlu dukungan untuk mempromosikan konsep tataruang mikro, sehingga dapat diakomodasi oleh para pengambil kebijakan sebagai inti utama bagi penyusunan tataruang yang lebih besar (Kabupaten maupun Provinsi) .

PILKADA

ANTARA PILKADAL DAN PIL PAHIT

Saat ini, publik tiap hari didera informasi dari berbagai media cetak serta elektronik mengenai siapa yang akan berkuasa ditiap daerah, baik sebagai Bupati, Wali Kota ataupun Gubernur. Pemimpin baru dengan aroma baru, dipilih langsung. Namun dengan rasa lama, sarat dengan berbagai kepentingan. Cobalah perhatikan dengan seksama dinamika politik akhir-akhir ini, akan tergambar dengan jelas bagaimana prilaku para elit, bekas elit atau yang tengah merayap menuju elit baik dari kalangan politisi, militer, pengusaha ataupun birokrasi. Sepertinya mereka menutup erat-erat daun telingannya, membutakan matanya, mempertebal kulit mukanya serta memutus tali urat malunya terhadap realitas sosial yang ada. Mereka lebih asyik bermain dengan mimpi kekuasaanya.

Diberbagai daerah, PILKADAL (Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung) telah menuai berbagai persoalan. Dari mulai konflik etnis, pendudukan dan perusakan kantor KPU, pemalsuan ijazah, politik perkoncoan serta penyogokan, janji untuk mengobral sumberdaya alam kepada para cukong yang mendukung dan lainnya. Berbagai upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Demontrasi akan dibalas dengan demontrasi, kekerasan akan diimbangi dengan kekerasan yang lebih dahsyat, janji muluk akan dipermanis dengan janji yang lebih muluk.

Sayangnya diskurs yang dikembangkan pada pemilihan langsung, bukan membangun prasarat calon pemimpin yang harus adil, kapabel, akuntabilitas, demokratis, menghargai perbedaan pandangan, berpihak pada masyarakat miskin dan keberlanjutan sumberdaya alam. Namun lebih pada parpol mana yang akan dijadikan kendaraan, daerah asal, politik perkoncoan dan penyogokan.

Lalu apakah kaitannya PILKADAL dengan sumberdaya alam? Sumberdaya alam merupakan salah satu isu utama yang penting serta saat ini dipakai oleh calon kepala daerah untuk menarik dukungan para pemilih. Bagi para calon yang berasal dari kalangan birokrat, keberhasilan mengeksploitasi sumberdaya alam untuk peningkatan PAD dianggap sebagai citra keberhasilan. Sementara janji untuk membebaskan penguasaan dan pengusahaan terus digelindingkan. Dampaknya akan menambah rumit persoalan pengelolaan sumberdaya alam yang saat ini telah begitu rumit. Ada contoh menarik yang tentang pengaduan para calon Bupati Sleman ke Panwas Pilkada terkait permintaan parpol untuk menyediakan dana sekitar 10 milyar rupiah agar bisa dicalonkan. Sayangnya kemudian parpol mencalonkan orang lain, dan calon yang gagal menuntut dan mengadu ke Panwas. Secara perhitungan ekonomi sederhana, apabila modal yang harus dikeluarkan minimal 10 milyar, sedangkan gaji Bupati sekitar 20 juta perbulan. Sehingga peran “sponsor” yang akan mendukung sumberdana bagi calon pemimpin sering menjadi kunci penting yang dibutuhkan untuk kesuksesan pencalonan.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah selama masa jabatan sebagai kepala daerah modal yang telah dikeluarkan akan kembali? Lalu apa yang akan dilakukan ketika sang calon sudah menjabat sebagai pemimpin daerah? Melakukan pilihan yang manusiawi, bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.

Keberadaan sumberdaya alam yang melimpah di banyak daerah di Indonesia, harusnya menjadi berkah untuk dikelola secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun faktanya malah sebaliknya, keberadaan sumberdaya alam yang melimpah seringkali dijadikan alat untuk diperas habis-habisan dengan argumentasi untuk membiayai pembangunan dan mungkin untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan.

Sangat wajar ketika kursi kekuasaan sudah ditangan poltik balas budi terhadap “sponsor” dilakukan. Akibat keberpihakan yang berlebihan terhadap para sponsor yang dimanifestasikan kedalam berbagai hak istimewa untuk mengeksploitasi sumberdaya alam telah menyebabkan terjadinya proses degradasi yang sangat parah dan dehumanisasi pada masyarakat,melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kebanyakan dan para sponsor. Akumulasi kesenjangan kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatnya KKN dan tidak terlaksananya penegakan hukum. Sebagai contoh kecil bagaimana proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan seperti areal konsesi HPH, HTI, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan dan kepentingan masyarakat lokal.

Pada bulan Juni, ketika pemilihan kepala daerah secara langsung akan dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Pada bulan yang sama juga diperingati hari Lingkungan hidup, tepatnya tanggal 5 Juni. Sangat relevan ketika komitmen terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan harus menjadi ukuran untuk memilih calon pemimpin daerah. Saat ini dibutuhkan para pemimpin yang mampu menjalankan pelaksanaan Otonomi Daerah dengan fikiran yang lurus. Sebab otonomi merupakan salah satu paradigma untuk mengurangi hegemoni pusat, memutus sentralisasi, mengakui keberagaman, mendorong proses pengakuan serta penghargaan terhadap inisiatif-inisiatif lokal didalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan yang terpenting bagaimana kepentingan masyarakat local yang selama ini tidak tersentuh ujung-ujung kepedulian menjadi diakui, dihormati dan diperjuangkan. Pemimpin yang mampu menjadikan suara rakyat sebagai suara kebijakan bukan malah sebaliknya, mendorong terciptanya asas pertanggung gugagatan, keterbukaan, adanya ruang untuk semua konstituen terlibat didalam penentuan arah pembangunan dengan prinsip kesetaraan. Konteks otonomi pengelolaan sumberdaya alamn adalah adanya komitmen dan konsistensi dari Pemimpin Daerah untuk menjaga keberlanjutan fungsi yang diikuti oleh perubahan paradigma menjadikan rakyat sebagai aktor utama.

Ketika semua itu terimplementasikan, Pilkadal bisa menjadi senjata ampuh untuk menjadi benteng penjaga keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. Namun ketika sebaliknya, hanya akan menjadi pemantik kerusakan sumberdaya alam. Banjir, longsor, kebakaran hutan, pencemaran dan hilangnya sumber kekayaan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, penghasil Oksigen, pengatur iklim mikro maupun makro akan melanda kita. Para calon pemilih. Ketika semua itu terjadi proses pilkadal tidak ubahnya bagai pil pahit yang harus semua kita semua rasakan. Ah...... lalu, pemimpin seperti apa yang akan kita pilih ? ?

Tak Putus Dirundung Malang

TAKSUDAH DIRUNDUNG MALANG
(Pengalaman di dalam Mendorong Proses Pengakuan Hak Kelola Rakyat di Batu Kerbau)



Potret Batu Kerbau

Sampai hari ini sumberdaya hutan hanya dipandang sebagai aset yang dieksploitasi untuk membiayai pembangunan, sehingga munculah berbagai persoalan terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan. Pengelolaan yang seragam, sentralistik, nirpartisipasi rakyat, padat modal dan monopolistik seperti ini selain boros sumberdaya, penuh dengan konflik serta tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Dampaknya adalah hilangnya akses masyarakat adat dan lokal yang telah berabad lamanya tergantung dari hutan, bahkan lebih parah lagi mereka harus tersingkir dari hutan, bagian terpenting dari kehidupannya.

Batu Kerbau merupakan salah satu desa yang difasilitasi untuk program ini, terletak di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo Jambi. Desa berluas wilayah 45.000 hektar ini berbatasan wilayah dengan desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Utara, Taman Nasional Kerinci Seblat di sebelah Barat, HPH PT.Rimba Karya Indah dan Kecamatan Tabir Ulu di sebelah selatan serta dengan Baru Pelepat di sebelah Timur. Terdiri dari empat dusun yaitu Batu kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang dan Simpang Raya, Hutan secara tradisonal telah mempunyai peran yang sangat penting karena merupakan sumber air, menyediakan lahan yang diperlukan untuk pemukiman, budidaya pertanian, hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Sebagai tipologi desa tua, adat istiadat masih dipegang kukuh dan mempunyai peran dalam menyelesaikan semua permasalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Peran lembaga adat tidak saja terlihat dalam mengatur hubungan sosial juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan rombongan Datuk Sinaro Nan Putiah dalam rangka menelusuri perjalanan Cindurmato mulai dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/Sungai Napat di sekitar Gunung Rantau Bayur dan menetap dihulu sungai Samak (Batang Pelepat). Disini kemudian rombongan tersebut menetap dan mendirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya pertanian seperti berternak dan berkebun.

Struktur pemerintahan berpegang kepada pepatah adat yang berbunyi "Alam barajo, negeri berpenghulu", dimana sebagai wakil pemerintahan Pagaruyung diangkat penghulu alam "Dt Sinaro Nan Putiah" yang dibantu oleh "Tiang Panjang" dan "Nenek Rabun" bergelar "Dt Bendaharo " tinggal di Batu Kerbau dan "Dt Rangkayo Mulie" di Baru Pelepat dengan wilayah meliputi Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang, Pedukuh dan Baru Pelepat. Masyarakat hidup turun temurun dipinggir hutan, dengan batas wilayah adat berdasarkan kekuasaan Dt Sinaro Nan Putiah, dibunyikan sebagai "Kelumbuk nan berbanir, bemban nan berduri, lubuk tidak berikan salimang, dan rimbo tidak berkuao, di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci, Batu Bertanduk dengan Senamat/Rantau Pandan dan Bukit Kemulau/golek air guling batu dengan Batang Kibul Tabir/Sarko".


Tekanan yang tak Kunjung Habis

Masuknya konsesi HPH pada tahun 70-an, diawali PT Alas Kusuma, lalu PT Rimba Karya Indah masyarakat mulai tersisih, karena tidak lagi bisa mengambil hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan dan kebutuhan kayu ramuan. Operasi HPH di hulu-hulu sungai mengakibatkan pada musim kemarau sangat kesulitan memperoleh air minum, karena sungai merupakan penyedia air utama. Sedangkan pada musim hujan air menjadi keruh, longsor dan banjir. Dampaknya setiap musim wabah penyakit menular (muntaber) kerap melanda. Selian itu peracunan ikan dihulu oleh para pekerja membuat ikan sepanjang aliran Batang Pelepat mati, dampaknya masyarakat kesulitan untuk memperoleh ikan sebagai salah satu protein hewani yang penting.

Beberapa kali bujuk rayu para investor, baik sawit, karet maupun HTI sudah datang silih berganti membujuk masyarakat agar mengizinkan mereka membuka perkebunan, sampai hari ini masyarakat masih tetap menolak. Pasca reformasi, tekanan tidaklah surut bahkan makin menjadi-jadi. Illegal logging yang dilakukan oleh orang luar desa dengan backing aparat keamanan, anggota dewan, staf kecamatan dan lainnya terus merongrong kawasan htan di Batu Kerbau. Beberapa upaya untuk menangkal telah dilakukan, salah satunya dengan menangkap pelaku dan menyita kayu illegal yang diambil dari hutan lindung desa. Dampaknya nyaris terjadi perang terbuka antara masyarakat dengan para pelaku illegal logging. Pihak terkait tidak merspon hal ini. Saat ini tengah berebut untuk masuk PT. Aman Pratama dan salah stau KUD yang “dimodali”oleh Malaysia untuk membuka perkebunan sawit, namun masyarakat tetap kukuh menolak.

Pengakuan kawasan kelola rakyat oleh Pemerintah Daerah belum menjadi jaminan karena kebijakan turunan oleh Dinas Instansi Teknis masih belum menjadikan Surat keputusan Pengakuan sebagai rujukan, akibatnya berbagai kebijakan-kebijakan baru yang berdampak negatif terus bermunculan seperti izin IPH/IPK, transmigrasi, perkebunan sawit dan lainnya.


Kesadaran yang tak Kunjung Sirna

Kesadaaran untuk memperjuangkan agar hutan dan lubuk, sebagai bagian terpenting untuk hidup dan kehidupan telah dimulai sejak tahun 1988, diinisiasi Datuk Rasyid yang menjabat Kepala Desa saat itu untuk mempertahankan hutan yang ada disekitar desa agar jangan diambil oleh pemegang HPH. Selain itu kesulitan masyarakat untuk mendapat ikan semakin terasa. Beberapa tokoh masyarakat dan tetua kampung berkumpul membahasnya. Disepakati untuk membuat lubuk larangan, yang pertama disepakati adalah lubuk larangan Batu Kerbau dan lubuk Mata Kucing. Lubuk larangan menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kepala Daerah TK.II Bungo Tebo didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Pembuatan lubuk larangan ini diikuti oleh dusun-dusun lain di desa Batu Kerbau. Pembuatan lubuk larangan ini dikuti dengan kesepakatan seluruh masyarakat dalam sebuah pertemuan desa yang biasanya berbentuk pengumuman sehabis sholat jum’at. Sangsi bagi yang melanggar, diputuskan oleh tokoh masyarakat dan tetua adat. Sangsi berupa 1 ekor kambing, 20 gantang (50 kg) beras, kelapa 20 butir dan 4 kayu kain serta sangsi agama yaitu sumpah dengan membacakan surat Yasin dan Al-Quran 30 juz. Kesepakatan ini ternyata berhasil, terbukti dengan tidak adanya lagi orang meracun ikan di Sungai Pelepat.

Hasil hutan non kayu seperti tanaman obat-obatan, jernang, manau, rotan, madu, buah-buahan, petai, jengkol, kabau, ikan dan potensi hutan lainnya sebagai salah satu tambahan penghasilan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat, makin sirna karena terus menerus dibalak oleh pemilik konsesi HPH. Pada tahun 1993 kesepakatan dilanjutkan dengan penunjukkan Hutan Adat, Hutan Lindung Desa dan Kawasan Pelestarian salak alam. Latar belakang pembentukannya karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi.Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing.

Kesepakatan ini dimotori oleh para tetua adat, pegawai syara’ dan pemerintahan desa, sebagai usaha untuk mengelola hutan yang lestari sehingga dapat dipergunakan pada masa yang akan datang. Batas-batas hutan belum defenitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Potensi kayu yang ada di dalam hutan adat disepakati dapat dipergunakan untuk keperluan desa, seperti pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan jembatan serta sarana dan prasarana lainnya. Sedangkan lahan yang ada di dalam hutan adat nantinya jika penduduk di desa Batu Kerbau semakin banyak maka lahan tersebut akan dibagikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai lahan.

Potensi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Adat Desa serta Lubuk larangan yang sangat kaya bermacam tanaman obat, tanaman buah, salak alam lokal, serta berbagai jenis ikan dan satwa menambah makin terbukanya peluang dan semangat masyarakat untuk mempertahankan kawasana tersebut.Kegiatan pendampingan yang dilakukan seperti identifikasi lapangan dan pengumpulan data dasar, selanjutnya dalam upaya legal drafting telah dihimpum kesepakatan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk piagam kesepakatan pengelolaan sumber daya alam yang telah ditandatangani pada tanggal 24 April 2001. Penandatanganan piagam kesepakatan ini dilakukan oleh perwakilan masyarakat desa. Untuk selanjutnya diupayakan sosialisasi piagam kesepakatan tersebut dan dilakukan advokasi kebijakan untuk dikeluarkannya SK Bupati yang mengukuhkan hutan adat dan piagam kesepakatan masyarakat Desa Batu kerbau tersebut.


Akhir dan Awal Perjuangan

Saat ini Bupati Kabupaten Bungo telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor.1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, dimana lima lokasi seperti Hutan lindung Batu Kerbau 776 Ha, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 Ha, Hutan Adat Batu Kerbau 386 Ha, Hutan adat Belukar Panjang 472 dan hutan adat Lubuk Tebat 360 Ha. Kawasan ini dikelola dengan kaidah hukum adat, yang telah dituangkan kedalam piagam kesepakatan. Untuk mencapai pengakuan memang bukan sesuatu yang mudah, butuh waktu sekitar 4 tahun, dengan menggandeng komitmen para pihak seperti Ketua Bappeda Bungo Tebo, Kepala Dinas Kehutanan, BPN, Kabag Hukum, Sekda dan Bupati. Dua Bupati, 3 Ketua Bappeda, 3 Kepala Dinas Kehutanan telah berganti untuk sebuah langkah awal pengakuan hak kelola rakyat. Pengukuhan kawasan kelola rakyat merupakan capaian maksimal sementara, karena persoalan lain telah menunggu seperti masih munculnya “makelar” perkebunan besar swasta yang mengintimidasi masyarakat.

Membangun kekuatan ditingkat rakyat menjadi prasyarat utama didalam perjuangan panjang untuk mendorong proses pengakuan, sehingga intimidasi dan bujuk rayu menjadi pisau tumpul yang tidak akan mampu mencacah komitmen bersama. Ditingkat fasilitasi lapangan memanfaatkan momen-momen kunjungan pengambil kebijakan seperti Gubernur Jambi, Direktur HKM Dephut, Bupati dan para aktifis bisa menjadi faktor penguat komitmen. Peran fasilitator yang mendorong pendidikan kritis (temu kampung, dialog Kabupaten), pemetaan partisipatif dan telaah hukum kebijakan. SK Bupati bukan akhir perjuangan, namun awal yang lebih berat dan panjang untuk meyakinkan semua pihak, kalau masyarakat akan mampu mengelola sumberdayanya secara adil, dmokratis dan lestari asal diberi peluang, perlindungan, pengakuan dan penghargaan.